Menatapnya
Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu, aku menatapnya dari balkon lantai dua sekolahku. Hanya dia di mataku, wajah putih seperti malaikat. Dia sedang bermain basket di lapangan, tapi bukan permainan basketnya yang aku lihat, tapi dia. Tak peduli gerak-geriknya, aku hanya ingin menatapnya di siang itu. Jantungku berdegup, padahal jarakku dengannya sangat jauh. Entahlah, aku merasa dia sangat dekat, tangannya yang selalu dingin saat aku mengenggamnya seolah masih aku rasakan.
Saat itu aku merasa bahagia dan sedih. Bahagia karena aku beruntung bisa bersekolah dengannya dua kali, jika tidak mana bisa aku menatapnya dari kejauhan seperti di siang itu. Rasa sedih, ya dia sudah berubah. Dia sudah menjadi orang lain. Aku yang dulu bersama-sama dia, sekarang hanya bisa seperti secret admirernya saja. Dia tak mau menjawab panggilanku, salah jika aku berpura-pura menjadi tak mengenal dia juga?
Hanya bisa menjatuhkan air mata rasanya, dan berharap pintu lorong waktu itu ada! Dan aku bisa bersama dengannya seperti tahun-tahun yang telah mati.
Saat itu aku merasa bahagia dan sedih. Bahagia karena aku beruntung bisa bersekolah dengannya dua kali, jika tidak mana bisa aku menatapnya dari kejauhan seperti di siang itu. Rasa sedih, ya dia sudah berubah. Dia sudah menjadi orang lain. Aku yang dulu bersama-sama dia, sekarang hanya bisa seperti secret admirernya saja. Dia tak mau menjawab panggilanku, salah jika aku berpura-pura menjadi tak mengenal dia juga?
Hanya bisa menjatuhkan air mata rasanya, dan berharap pintu lorong waktu itu ada! Dan aku bisa bersama dengannya seperti tahun-tahun yang telah mati.
Komentar
Posting Komentar